Selasa, 04 September 2018

Koran Sindo Literasi Demi Masyarakat Yang Mandiri



Selama ini kita beranggapan, faktor ekonomi rendah telah membuat masyarakat putus sekolah. Namun, tidak bagi masyarakat di Desa Kanreapia, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Potensi pertanian yang tinggi membuat masyarakatnya memiliki penghasilan cukup besar.H anya, dampaknya jadi jarang dari mereka ingin melanjutkan pendidikan. Hal tersebut menggelitik Jamaluddin yang menganggap kekayaan tidak berarti jika seseorang buta huruf dan tak mengenyampendidikan sama sekali.

Jamal -sapaannya- lantas tergerak untuk mem buat Rumah Koran sebagai wadah literasi bagi masyarakat, khususnya petani agar lahir petani yang andal dan memiliki ilmu lain.


Bagaimana cerita lelaki kelahiran 1988 itu dengan Rumah Koran nya? Bukan sekadar taman bacaan, tapi Rumah Koran mampu menjadikan masyarakat Desa Kan reapia berdaya dan semakin sejahtera. Berikut penuturan Jamal kepada KORAN SINDO.

Bisa diceritakan awal Anda tergerak mem buat Rumah Koran?

Saya membuat Rumah Koran pada 2011, dulu na manya Rumah Baca. Saat itu saya masih kuliah, ma sih bolak-balik Makassar-kampung, jadi sempat vakum. Setelah selesai kuliah pada 2014 saya pulang, melanjutkan program ini dan diganti na - ma nya menjadi Rumah Koran.

Sejarah nama Rumah Koran itu awalnya karena sa ya berkeinginan punya sekretariat. Ada tempat kosong yakni kandang bebek milik orang tua yang sudah tidak dipakai. Akhirnya saya bersihkan dan sa ya tem pel koran-koran. Hasilnya jadi menarik, berbeda dari sebelumnya. Maka jadilah Rumah Koran.

Apa saja kegiatan di Rumah Koran?

Kami punya tiga kelompok peserta didik. Pertama anak petani, petani muda, dan petani tua. Ke giatannya bermacam-macam, termasuk mengaji, baca buku di sungai, belajar wudu di sungai, ba ca buku di gunung. Kami fokus pada literasi untuk mereka. Kami juga punya program satu dusun sa tu rumah baca.

Jadi, Rumah Koran melahirkan ba nyak rumah baca lain. Di desa saya ada tujuh dusun. Nama yang dipakai sudah bukan Rumah Koran, tetapi rumah baca dengan nama dusun masing-masing. Program ini menyebar ke desa lain dan kemudian lahir banyak perpustakaan. Namanya ada perpustakaan kambing, ada juga kafe baca, jadi orang bisa minum kopi sambil baca.

Apa motivasi Anda membuat Rumah Koran?

Desa saya tertinggal dari segi pendidikan, walaupun dari segi ekonomi tinggi. Data menunjukkan, dari sekitar 4.773 penduduk, 1.782 orang di antaranya tidak tamat SD. Faktor ekonomi yang tinggi malah membuat masyarakat tidak ingin sekolah.

Kami kalau panen kentang misalnya, sudah bisa membeli motor. Kekayaan malah menjadi peng hambat pendidikan. Mereka berpikir, nanti se kolah juga yang dicari uang. Selesai sekolah kerja, dapat uang. Sementara sekarang tanpa sekolah mereka sudah punya uang.

Tidak sekolah saja mereka bisa membeli barang apapun yang di inginkan. Padahal, di desa kami banyak sekolah dari SD sam pai SMA, aliyah juga ada. Pemerintah sering me nyuarakan untuk sekolah, tetapi belum ada per ubahan dari masyarakat sehingga saya berpikir harus ada kesadaran dari diri kita sendiri, harus dari warga yang bertindak.

Maka saya membuat Rumah Koran sebagai wadah untuk meraih pen didikan. Selain itu, saya ingin mengubah nasib agar kami tidak mudah dibohongi atau diperalat orang lain. Saya berpikir, kami tidak bisa begini terus. Apalagi kalau ada yang sakit di desa.

Saat kami ke Makassar, pengurusannya itu susah, kami harus min ta ban tuan orang lain. Begitu juga kalau ingin urus SIM dan perpanjang STNK, itu semua rumit di desa kami. Saya berkeinginan agar kami mandiri, bisa meng urusi semua sendiri. Semua bisa kita la kukan ka lau kita bisa baca, dapat ilmu pengetahuan umum me ngenai hal seperti itu.

Yang memalukan saat kami musyawarah di kecamatan. Desa saya selalu diprediksi tidak bisa melahirkan pemuda yang mampu menjadi sarjana. Sa ya ingin membuktikan, jangankan menjadi sarjana, menjadi mas terpun bisa.

Apa latar belakang Anda?

Saya anak petani, besar di lingkungan pertanian. Saya juga putus nyambung sekolah, ku liah sempat berhenti lalu lanjut lagi. Lingkungan yang mem buat saya demikian. Namun, akhirnya saya ber semangat sekolah karena melihat desa saya sangat tertinggal.

Pada saat awal Rumah Koran berdiri, saya masih mengajar di kampus. Di kam pung saya di anggap sukses karena sudah jadi dosen, tapi saya berpikir kembali, kalau saya jadi dosen banyak orang pintar, sementara di desa saya sendiri malah tidak. Saya merasa di butuhkan. Akhirnya saya dan istri memutuskan pulang kampung. Merintis Rumah Koran.

Bagaimana tanggapan masyarakat?

Banyak anggapan, kenapa seseorang yang su dah master kerjanya hanya menempel koran? Sa ya awalnya dianggap contoh yang tidak bagus. Jadi semakin keras anggapan bahwa tidak perlu sekolah atau kuliah karena Jamal saja selesai S-2 hanya pu lang kampung untuk tempel koran.

Biasanya yang se kolah tinggi bekerja di kantoran. Itu lah anggapan dari keluarga dan lingkungan. Dari perjalanan itu, saya jadikan bumbu perjuangan bahwa perjuangan pasti ada rintangan. Kita ingin memajukan desa, tapi warga desa kita sen diri malah ber ko mentar pedas tentang saya.

Saya juga pernah dengar ada yang bilang, “Jamal sudah S-2 masih di kebun. Masa S-2 ja di petani? Ti dak sesuai dengan gelar.” Anggapan mereka kalau sudah S-2 tidak perlu lagi membawa cang kul dan parang.

Tapi seiring berjalannya waktu, saya mampu buktikan bahwa menjadi petani berpendidikan itu beda di ban dingkan petani pada umumnya. Salah satunya lahirlah program pertanian organik yang juga men ja di usaha Rumah Koran. Akhirnya sekarang ba nyak masyarakat yang bersedia menyelesaikan sekolah.

Jadi, Rumah Koran berkembang menjadi sebuah bisnis yang juga melibatkan masyarakat?

Ya, karena Rumah Koran butuh biaya operasional. Maka lahirlah usaha Toko Tani Organik. Kami juga siapkan lahan percontohan organik, wisata alam seperti agrowisata, air terjun, dan gunung. Ada juga homestay,perkemahan.

Banyak kam pus yang melakukan penelitian di tempat kami. Hotel, juga lembaga-lembaga mengadakan ke giat an di Ru mah Koran. Akhirnya mulai terbuka pemikiran masyarakat di desa ini. Mereka jadi tahu perbedaan petani yang tidak sekolah dengan yang sekolah.

Apa perbedaan yang dialami masyarakat setelah ada Rumah Koran?

Rumah Koran mencoba melahirkan petani literasi. Jadi siang hari sibuk berkebun di ladang, pada malam hari mereka tuangkan satu gagasan atau pemikiran kemudian disampaikan melalui media sosial agar mampu memanfaatkan teknologi. Jadi tidak hanya jualan offline,tapi juga memanfaatkan teknologi untuk mempromosikan hasil pertanian.

Dulu para petani muda malu mengakui bahwa mereka adalah seorang petani. Mereka jarang mem-posting kegiatan sebagai petani di sosial media. Setelah ada Rumah Koran, mereka jadi termotivasi dan bangga menjadi petani karena kalau tidak ada petani tidak makan.

Saya menjadi contoh bagi mereka. Rumah Koran mampu melahirkan generasi petani yang gemar membaca, berwawasan, gemar teknologi, dan mampu memasarkan hasil pertanian secara online.

Apa harapan Anda untuk Rumah Koran ke depan?

Program satu dusun satu rumah baca bisa menyebar ke semua desa dan dusun supaya masyarakat bukan cuma jadi petani biasa. Petani yang hanya melanjutkan kebiasaan para pendahulu, tetapi mereka bisa memperkaya wawasan untuk mengetahui cara bertani organik, benar-benar mengerti. Saya sangat berharap semua petani bisa membaca agar dapat memberikan pupuk atau nutrisi sesuai dengan dosisnya. Mampu membaca aturan secara benar.

Kepedulian Jamal terhadap desanya yang dulu kerap dianggap sebelah mata kini telah membuat Kanreapia semakin maju.

Hal itu ke mudian membuahkan kebanggaan dalam bentuk penghargaan dari Himpunan Kerukunan Tani In donesia (HKTI) Innovation Award 2018 un tuk kategori sosial. Gemar berselancar di dunia maya membuat Jamal up dated dengan berita terkini, termasuk soal kompetisi dalam bidang pertanian.

Jamal pun ikut serta dan melihat peserta lain yang tidak kalah hebat. “Mereka hebat-hebat. Ada yang membuat aplikasi benih, pengukur curah hujan, sedangkan kami bukan mem buat inovasi dalam bentuk produk, melainkan sebuah gerakan Cerdas Anak Petani dengan kegiatan anak petani belajar mengaji, membaca buku di sungai, dan masyarakat petani gemar membaca yang dapat me n arik perhatian juri,” ujarnya bangga.

Ya. Para juri HKTI Innovation Awards 2018 menjadikan gerakan Cerdas Anak Petani sebagai bagian dari inovasi untuk memajukan SDM petani. Dengan mewu judkan desa wisata melalui agrowisata, lokasi Kemah Literasi serta mewujudkan Kampung Organik agar petani sehat dan konsumen juga sehat.

Kampung Literasi sendiri ingin mewujudkan petani yang ge mar mem baca, petani yang menguasai teknologi dan mam pu memasarkan produknya secara online. Terpilihnya gerakan Cerdas Anak Petani dalam HKTI In novation Awards 2018 menandakan bahwa menjadi petani itu membanggakan dan merupakan profesi yang sangat penting untuk bangsa.

Hal lain yang membuat Jamal bang ga ialah dapat bertemu de ngan Presiden Jokowi. “Seperti mimpi bisa jabat tangan dengan beliau, bisa menyampaikan secara langsung apa itu Rumah Koran. Ini menjadi satu kebanggaan dan rasa syukur.

Ini adalah hasil dari perjuangan bahwa anak muda harus bangga menjadi petani,” ujarnya bersemangat. Arti penghargaan ini buat Jamal adalah sebuah motivasi untuk terus maju dan melangkah, mengubah imaji pertanian menjadi keren serta digemari anak muda, dan bahwa menjadi petani muda juga bisa dapat penghargaan.
Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

'' TERIMA KASIH ATAS KOMENTAR ANDA''

''Tassilalo Ta'rapiki T'awwa, Sipakainga Lino Lattu Akhira''