- Apakah anda mulai merasa kesulitan
mengendalikan perilaku anak anda?
- Apakah anda dan pasangan sering
nggak sepaham dalam mendidik anak anak?
- Apakah anak anda sering
merengek dan maksa untuk dituruti kemauannya?
- Apakah anak anda sering
berantem satu sama lain?
- Apakah anda kesulitan karena
anak anda selalu nonton tv atau maen ps?
Jika
anda menjawab ya dari salah satu pertanyaan diatas, maka ada baiknya baca tips
tips dibawah ini. Berikut ini adalah tips tips dari buku Ayah Edy ini.
1.
Raja yang Tak Pernah Salah
Sewaktu
anak kita masih kecil dan belajar jalan tidak jarang tanpa sengaja mereka
menabrak kursi atau meja. Lalu mereka menangis. Umumnya, yang dilakukan oleh
orang tua supaya tangisan anak berhenti adalah dengan memukul kursi atau meja
yang tanpa sengaja mereka tabrak. Sambil mengatakan, “Siapa yang nakal ya? Ini
sudah Papa/Mama pukul kursi/mejanya…sudah cup….cup…diem ya..Akhirnya si anak
pun terdiam.
Ketika
proses pemukulan terhadap benda benda yang mereka tabrak terjadi, sebenarnya
kita telah mengajarkan kepada anak kita bahwa ia tidak pernah bersalah.
Yang
salah orang atau benda lain. Pemikiran ini akan terus terbawa hingga ia dewasa.
Akibatnya, setiap ia mengalami suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan,
maka yang keliru atau salah adalah orang lain, dan dirinya selalu benar. Akibat
lebih lanjut, yang pantas untuk diberi peringatan sanksi, atau hukuman adalah
orang lain yang tidak melakukan suatu kekeliruan atau kesalahan.
Kita
sebagai orang tua baru menyadari hal tersebut ketika si anak sudah mulai
melawan pada kita. Perilaku melawan ini terbangun sejak kecil karena tanpa
sadar kita telah mengajarkan untuk tidak pernah merasa bersalah.
Lalu,
apa yang sebaiknya kita lakukan ketika si anak yang baru berjalan menabrak
sesuatu sehingga membuatnya menangis? Yang sebaiknya kita lakukan adalah
ajarilah ia untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi; katakanlah padanya
(sambil mengusap bagian yang menurutnya terasa sakit): ” Sayang, kamu terbentur
ya. Sakit ya? Lain kali hati-hati ya, jalannya pelan-pelan saja dulu supaya
tidak membentur lagi.”
2.
Berbohong Kecil
Awalnya
anak-anak kita adalah anak yang selalu mendengarkan kata-kata orang tuanya,
Mengapa? KArena mereka percaya sepenuhnya pada orang tuanya. Namun, ketika anak
beranjak besar, ia sudah tidak menuruti perkataan atau permintaan kita? Apa
yang terjadi? Apakah anak kita sudah tidak percaya lagi dengan perkataan atau
ucapan-ucapan kita lagi?
Tanpa
sadar kita sebagai orang tua setiap hari sering membohongi anak untuk
menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi
ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak berkeliling
perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat
yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengalihkan perhatian si
kecil ke tempat lain, setelah itu kita buru-buru pergi? Atau yang ekstrem kita
mengatakan, “Papa/Mama hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya, sebentaaar
saja ya, Sayang.” Tapi ternyata, kita pulang malam. Contah lain yang sering
kita lakukan ketika kita sedang menyuapi makan anak kita, “Kalo maemnya susah,
nanti Papa?Mama tidak ajak jalan-jalan loh.” Padahal secara logika antara
jalan-jalan dan cara/pola makan anak, tidak ada hubungannya sama sekali.
Dari
beberapa contah di atas, jika kita berbohong ringan atau sering kita istilahkan
“bohong kecil”, dampaknya ternyata besar. Anak tidak percaya lagi dengan kita
sebagai orang tua. Anak tidak dapat membedakan pernyataan kita yang bisa
dipercaya atau tidak. akibat lebih lanjut, anak menganggap semua yang diucapkan
oleh orang tuanya itu selalu bohong, anak mulai tidak menuruti segala perkataan
kita.
Apa
yang sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah
dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan penuh kasih dan pengertian:
“Sayang,
Papa/Mama mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo Papa/Mama ke
kebun binatang, kamu bisa ikut.”
Kita
tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya
membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya
mereka menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang
tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita harus bersabar dan lakukan
pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan memahami
keadaan mengapa orang tuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja,
anak tidak bisa ikut. Sebaliknya bila pergi ke tempat selain kantor, anak pasti
diajak orang tuanya. Pastikan kita selalu jujur dalam mengatakan sesuatu. Anak
akan mampu memahami dan menuruti apa yang kita katakan.
3.
Banyak Mengancam
“Adik,
jangan naik ke atas meja! nanti jatuh dan nggak ada yang mau menolong!”
“Jangan
ganggu adik,nanti MAma/Papa marah!”
Dari
sisi anak pernyataan yang sifatnya melarang atau perintah dan dilakukan dengan
cara berteriak tanpa kita beranjak dari tempat duduk atau tanpa kita
menghentikan suatu aktivitas, pernyataan itu sudah termasuk ancaman. Terlebih
ada kalimat tambahan “….nanti Mama/Papa marah!”
Seorang
anak adalah makhluk yang sangat pandai dalam mempelajari pola orang tuanya; dia
tidak hanya bisa mengetahui pola orang tuanya mendidik, tapi dapat membelokkan
pola atau malah mengendalikan pola orang tuanya. Hal ini terjadi bila kita
sering menggunakan ancaman dengan kata-kata,namun setelah itu tidak ada tindak
lanjut atau mungkin kita sudah lupa dengan ancaman-ancaman yang pernah kita
ucapkan
Apa
yang sebaiknya kita lakukan? .
Kita
tidak perlu berteriak-teriak seperti itu. Dekati si anak, hadapkan seluruh
tubuh dan perhatian kita padanya. tatap matanya dengan lembut, namum
perlihatkan ekspresi kita tidak senang dengan tindakan yang mereka lakukan.
Sikap itu juga dipertegas dengan kata-kata, “Sayang, Papa/Mama mohon supaya
kamu boleh meminjamkan mainan ini pada adikmu. Papa/Mama akan makin sayang sama
kamu.” Tidak perlu dengan ancaman atau teriaka-teriakan. Atau kita bisa juga
menyatakan suatu pernyataan yang menjelaskan suatu konsekuensi, misal “Sayang,
bila kamu tidak meminjamkan mainan in ke adikmu,Papa/Mama akan menyimpan mainan
ini dan kalian berdua tidak bisa bermain. MAinan akan Papa/Mama keluarkan, bila
kamu mau pinjamkan mainan itu ke adikmu. Tepati pernyataan kita dengan
tindakan.
4.
Bicara Tidak Tepat Sasaran
Pernahkah
kita menghardik anak dengan kalimat seperti, “Papa/Mama tidak suka bila kamu
begini/begitu!” atau “Papa/Mama tidak mau kamu berbuat seperti itu lagi!” Namun
kita lupa menjelaskan secara rinci dan dengan baik, hal2 atau tindakan apa saja
yang kita inginkan. Anak tidak pernah tahu apa yang diinginkan atai dibutuhkan
oleh orang tuanya dalam hal berperilaku. Akibatnya anak terus mencoba sesuatu
yang baru. Dari sekian banyak percobaan yang dilakukannya, ternyata selalu
dikatakan salah oleh orang tuanya. Hal ini mengakibatkan mereka berbalik untuk
dengan sengaja melakukan hal2 yang tidak disukai orang tuanya. Tujuannya untuk
mrmbuat orang tuanya kesal sebagia bentuk kekesalan yang juga ia alami
(tindakannya selalu salah di hadapan orang tua).
Apa
yang sebaiknya kita lakukan?
Sampaikanlah
hal2 atau tindakan2 yang kita inginkan atau butuhkan pada saat kita menegur
mereka terhadap perilaku atau hal yang tidak kita sukai.Komnikasikan secara
intensif hal atau perilaku yang kita inginkan atau butuhkan. Dan pada waktunya,
ketika mereka sudah megalami dan melakukan segala hal atau perilaku yang kita
inginkan atau butuhkan , ucapkanlah terimakasih dengan tulus dan penuh kasih
sayang atas segala usahanya untuk berubah.
5.
Menekankan pada Hal-hal yang salah
Kebiasaan
ini hampir sama dengan kebiasaan di atas. Banyak orang tua yang sering
mengeluhkan tentang anak2nya tidak akur, suka bertengkar. Pada saat anak kita
bertengkar, perhatian kita tertuju pada mereka, kita mencoba melerai atau
bahkan memarahi. Tapi apakah kita sebagai orang tua memperhatikan mereka pada
saat mereka bermain dengan akur? Kita seringkali menganggapnya tidak perlu
menyapa mereka karena mereka sedang akur. Pemikiran tersebut keliru, karena hak
itu akan memicu mereka untuk bertengkar agar bisa menarik perhatian orang
tuanya,
Apa
yang sebaiknya kita lakukan?
Berilah
pujian setiap kali mereka bermain sengan asyik dan rukun, setiap kali mereka
berbagi di antara mereka dengan kalimat sederhana dan mudah dipahami, misal:
”Nah, gitu donk kalau main. Yang rukun.” Peluklah mereka sebagai ungkapan
senang dan sayang.
6.
Merendahkan Diri Sendiri
Apa
yang anda lakukan kalau melihat anak anda bermain Playstation lebih dari
belajar? Mungkin yang sering kita ucapkan pada mereka, “Woy… mati in tuh PS
nya, ntar dimarahin loh sama papa kalo pulang kerja!” Atau kita ungkapkan
dengan pernyataan lain, namun tetap dengan figur yang mungkin ditakuti oleh
anak pada saat itu. Contoh pernyataan ancaman diatas adalah ketika yang
ditakuti adalah figur Papa.
Perhatikanlah
kalimat ancaman tersebut. Kita tidak sadar bahwa kita telah mengajarkan pada
anak bahwa yang mampu untuk menghentikan mereka maen ps adalah bapaknya, artinya
figure yang hanya ditakuti adalah sang bapak. Maka jangan heran kalau jika anak
tidak mengindahkan perkataan kita karena kita tidak mampu menghentikan mereka
maen ps.
Apa
yang sebaiknya kita lakukan?
Siapkanlah
aturan main sebelum kita bicara; setelah siap, dekati anak, tatap matanya, dan
katakan dengan nada serius bahwa kita ingin ia berhenti main sekarang atau
berikan pilihan, misal “Sayang, Papa/Mama ingin kamu mandi. Kamu mau mandi
sekarang atau lima menit lagi?” bila jawabannya “lima menit lagi Pa/Ma”. Kita
jawab kembali, “Baik, kita sepakat setelah lima menit kamu mandi ya. Tapi jika
tidak berhenti setelah lima menit, dengan terpaksa papa/mama akan simpan PS nya
di lemari sampai lusa”. Nah, persis setelah lima menit, dekati si anak, tatap
matanya dan katakan sudah lima menit, tanpa tawar menawar atau kompromi lagi.
Jika sang anak tidak nurut, segera laksanakan konsekuensinya.
7.
Papa dan Mama Tidak Kompak
Mendidik
abak bukan hanya tanggung jawab para ibu atau bapak saja, tapi keduanya. Orang
tua harus memiliki kata sepakat dalam mendidik anak2nya. Anak dapat dengan
mudah menangkap rasa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan bagi dirinya.
Misal, seorang Ibu melarang anaknya menonton TV dan memintanya untuk
mengerjakan PR, namun pada saat yang bersamaan, si bapak membela si anak dengan
dalih tidak mengapa nonton TV terus agar anak tidak stress. Jika hal ini
terjadi, anak akan menilai ibunya jahat dan bapaknya baik, akibatnya setiap
kali ibunya memberi perintah, ia akan mulai melawan dengan berlindung di balik
pembelaan bapaknya. Demikian juga pada kasus sebaliknya. Oleh karena itu, orang
tua harus kompak dalam mendidik anak. Di hadapan anak, jangan sampai berbeda
pendapat untuk hal2 yang berhubungan langsung dengan persoalan mendidik anak.
Pada saat salah satu dari kita sedang mendidik anak, maka pasangan kita harus
mendukungnya. Contoh, ketika si Ibu mendidik anaknya untuk berlaku baik
terhadap si Kakak, dan si Ayah mengatakan ,”Kakak juga sih yang mulai duluan
buat gara2…”. Idealnya, si Ayah mendukung pernyataan, “Betul kata Mama, Dik.
Kakak juga perlu kamu sayang dan hormati…
Sumber : Buku mengapa Anak Saya Suka Melawan dan Susah di Atur